Respon Michael Jacobus DPR RI Hapus Pasal Bungkam Advokat di RUU KUHP

Dr Michael Remizaldy Jacobus.(ist)

Bitung, VivaSulut.com – Advokat muda Dr Michael Remizaldy Jacobus mengapresiasi keputusan DPR RI menghapus pasal di Rancangan Undang-undang (RUU) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHAP) yang terindikasi membungkam advokat.

Pasal itu adalah pasal 142 ayat 3 huruf b RUU KUHAP, dicoret Komisi III DPR RI setelah menuai kritikan dari kalangan advokat.

Bacaan Lainnya

Keputusan itu diambil dalam rapat dengar pendapat (RDP) yang digelar Komisi III, Senin (24/3/2025).

Menurut Michael, pasal yang sempat diusulkan dalam draf RUU KUHAP itu berpotensi membungkam advokat dalam menjalankan tugasnya dan merusak prinsip transparansi hukum di Indonesia.

“Kami mengapresiasi keputusan DPR RI untuk menghapus Pasal 142 ayat (3) huruf b dalam RUU KUHAP. Ini menunjukkan bahwa upaya membungkam suara advokat berhasil ditangkal oleh wakil rakyat, sekaligus membuktikan bahwa legislator kita masih peka terhadap aspirasi publik,” kata Michael, Jumat (28/3/2025).

Advokat berdarah Nusa Utara ini menyampaikan, hasil RDP Komisi III yakni Advokat Bebas Menyampaikan Pendapat di Luar Pengadilan.

Dalam draf awal revisi KUHAP, kata dia, Pasal 142 ayat (3) berisi larangan bagi advokat untuk:
a. Menyalahgunakan hak berkomunikasi dengan tersangka, terdakwa, atau terpidana.
b. Memberikan pendapat di luar pengadilan terkait permasalahan kliennya.
c. Mempengaruhi tersangka atau saksi untuk tidak mengatakan hal yang sebenarnya.

Setelah mendapat masukan dari berbagai pihak dalam RDP, Komisi III DPR RI akhirnya sepakat untuk menghapus ketentuan ini dari draf revisi KUHAP.

Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menegaskan bahwa aturan ini tidak adil bagi profesi advokat dan berpotensi menghambat tugas mereka dalam memperjuangkan keadilan.

“Advokat bukan hanya pembela di pengadilan, tetapi juga memiliki peran edukatif bagi masyarakat. Jika kami dibungkam, bagaimana publik bisa memahami jalannya suatu kasus dan menilai apakah keadilan benar-benar ditegakkan?,” katanya.

Masih Ada Poin Lain yang Perlu Dikritisi

Pun demikian, Doktor jebolan Trisakti ini mengingatkan bahwa masih ada beberapa ketentuan dalam revisi KUHAP yang perlu dikritisi lebih lanjut.

Ia berharap DPR RI tetap bersikap kritis dan tidak membiarkan aturan-aturan lain yang berpotensi merugikan prinsip keadilan tetap bertahan.

Antara lain, Pasal 33 ayat (2) RUU KUHAP yang prinsipnya memberi ruang bagi advokat untuk menyatakan keberatan ketika dalam pemeriksaan penyidikan mengintimidasi atau mengajukan pertanyaan menjerat kepada kliennya, akan tetapi pasal ini masih sangat abstrak, karena ujung dari keberatan itu apa?

“Kalau keberatan diterima apakah penyidik langsung mengoreksi? Dan jika keberatan ditolak, apakah bisa keberatannya bisa dicantumkan dalam BAP sebagai fakta penyidikan ataukah diabaikan begitu saja? Disini butuh kejelasan manfaat dari peran keberatan Advokat dalam penyidikan,” katanya.

Ia menambahkan dalam Pasal 146 ayat (4), mencantumkan bahwa Tersangka atau Terdakwa diperkenankan tidak damping advokat jika ia menolak dengan menandatangani berita acara penolakan advokat.

“Menurut saya, ini berbahaya bagi penegakan hukum terutama untuk terdakwa yang diancam hukuman maksimal misalnya 15 tahuh sampai hukuman mati. Karena tidak semua orang yang jadi tersangka atau terdakwa itu paham hukum dan mengerti hak-haknya,” katanya.

“Pasal ini bertentangan dengan Miranda Rule, dan kami pernah mengalami ada tersangka yang diintimidasi untuk tidak menggunakan jasa advokat, karena dianggap mempersulit Penyidik. Apalagi jika advokatnya orang vokal. Sekali lagi ini rawan pelanggaran, sehingga menurut Saya jika ancaman hukuman tinggi, wajib bagi seseorang didampingi kuasa hukum. Apalagi biasanya yang menolak gunakan jasa hukum itu orang-orang kecil yang tidak mampu bayar jasa advokat, kasian mereka,” jelasnya.

Advokat berkantor di Jakarta ini juga mengkritisi pencantuman Pasal 197 ayat (10) menurutnya sangat rancu. Pasal tersebut mengatur setelah ada Terdakwa, ahli dan saksi meringankan yang diajukan Advokat, maka Jaksa diperkenankan untuk mengajukan saksi dan ahli tambahan.

“Ini sangat rancu, karena jika perkara sudah naik ke pengadilan sudah melawati proses penyelidikan dan penyidikan, sehingga harusnya sudah paripurna pembuktiannya. Dan ketika advokat selesai mengajukan bukti untuk kepentingan pembelaan harusnya itu sudah merupakan ujung dari pembuktian, sehingga seharusnya dilanjutkan dengan tuntutan,” katanya.

“Jika ditambah-tambah lagi kesempatan, kapan berakhirnya pembuktian. Aturan ini membuat posisi negara yang diawakil Jaksa dan Terdakwa menjadi tidak seimbang, sehingga pasal ini harusnya dihapus,” sambungnya.

Dirinya juga mengingatkan agar DPR RI betul-betul membuka ruang aspirasi selebar-lebarnya agar publik bisa mengkritisi RUU KUHAP, karena yang akan jalani ke depan adalah seluruh warga negara Indonesia yang bersentuhan dengan kasus pidana.

“Resikonya terlalu besar jika procedure of justice justeru tidak berkeadilan,” katanya.

(redaksi)

Pos terkait