Jakarta, VivaSulut.com – Dianggap keramat dan dijauhi manusia, bajing kelapa Sangihe (Prosciurillus rosenbergii) dalam kondisi albino atau leucistic mungkin aman dari perburuan.
Namun, keunikan genetik mereka justru membuat mereka lebih rentan di ekosistem tempat mereka hidup.
Dilansir dari Kompas.com, bajing ini merupakan hewan endemis yang hanya ditemukan di kawasan Gunung Sahendaruman, Pulau Sangihe, Sulawesi Utara.
Beberapa individu ditemukan memiliki kondisi albino atau leucistic, yang membuat penampilannya tampak putih pucat dengan mata merah atau terang.
Fenomena ini pertama kali diamati di Kampung Menggawa II dan Kampung Belengan, dua desa di kawasan hutan lindung Sahendaruman.
Di sana, masyarakat lokal, terutama generasi tua, percaya bahwa bajing albino atau leucistic adalah hewan mistis, bahkan diyakini sebagai jelmaan manusia.
“Banyak yang percaya, pertanda buruk jika bertemu dengannya di hutan. Jadi mereka akan berbalik arah atau cari jalan lain,” ujar William Christian Tutuarima, Community Facilitator Sangihe Site Burung Indonesia, dikutip dari laman Burung Indonesia, Jumat (11/7/2025).
Pandangan itu secara tidak langsung membuat bajing ini dijauhi manusia.
Hutan tempat mereka tinggal bahkan dianggap keramat, sehingga jarang dirusak.
Namun di sisi lain, sebagian warga menganggap bajing ini hama karena kerap memakan kelapa dan buah-buahan.
Meski dilindungi secara budaya, bajing kelapa Sangihe albino dan leucistic tetap menghadapi kerentanan ekologis.
Warna tubuh mereka yang mencolok membuat mereka mudah terlihat oleh predator seperti ular, elang, dan burung hantu.
Mereka juga lebih sensitif terhadap sinar matahari dan sering dikucilkan oleh kelompoknya sendiri.
William menjelaskan bahwa kondisi albino dan leucistic disebabkan oleh mutasi genetik yang memengaruhi produksi melanin.
Hewan albino tidak memiliki pigmen sama sekali dan matanya berwarna merah muda atau merah, sedangkan leucistic mengalami pengurangan pigmen dan mata hewan leucistic umumnya berwarna normal.
Keduanya hanya muncul jika kedua induk membawa gen resesif, gen pembawa sifat tersebut.
Di pulau kecil seperti Sangihe, isolasi geografis dan populasi yang kecil meningkatkan kemungkinan terjadinya mutasi genetik langka akibat perkawinan sedarah (inbreeding).
“Bajing ini merupakan salah satu dari tiga jenis tupai di Pulau Sangihe yang memiliki keunikan luar biasa,” kata William.
Di sisi lain, bajing kelapa Sangihe juga memiliki fungsi ekologis penting dalam keseimbangan hutan.
Ganjar Cahyo Aprianto, Conservation Programme Officer Sangihe Site Burung Indonesia, menyebut bahwa bajing ini membantu mengendalikan hama dengan memangsa serangga dan ulat kayu.
“Ada pendapat masyarakat yang mengatakan bahwa bajing kelapa Sangihe memiliki peran sebagai pengontrol hama juga,” ujar Ganjar.
Selain itu, bajing ini juga menjadi bagian dari rantai makanan alami sebagai sumber energi bagi predator yang menjaga keseimbangan ekosistem.
Meski status konservasinya dikategorikan Endangered (Genting) dalam IUCN Red List Database karena habitatnya sangat terbatas, yaitu hanya di Pulau Sangihe, hingga kini belum terlihat indikasi penurunan populasi yang signifikan.
Akan tetapi, menjaga keberadaan spesies ini, termasuk individu-individu unik yang albino dan leucistic, Burung Indonesia bersama masyarakat menggagas inisiatif Kesepakatan Alam Kampung (KEPAK). Program ini bertujuan melindungi satwa dan habitatnya melalui keterlibatan aktif masyarakat dalam pelestarian hutan.
(redaksi)