Jakarta, VivaSulut.com – Para jurnalis asing yang bekerja di media-media yang didanai pemerintah Amerika Serikat (AS), terutama mereka yang berasal dari negara-negara dunia ketiga, khawatir akan dideportasi imbas kebijakan Presiden Donald Trump dan kembali ke negara asalnya sebagai pesakitan.
Pada pertengahan Maret lalu, seperti dilansir dari Katadata.co.id, pemerintahan Trump membekukan anggaran lembaga penyiaran dan media yang selama ini didanai pemerintah AS di bawah U.S. Agency for Global Media (USAGM), yang menaungi Voice of America (VOA), Radio Free Europe, Radio Free Asia, dan Radio Marti.
Rasa cemas itu menjalari Vuthy Tha dan Hour Hum, dua jurnalis asal Kamboja.
Setelah bersembunyi di Thailand selama tujuh tahun, keduanya hijrah ke AS pada akhir 2024 lalu untuk bekerja di Radio Free Asia.
Di media itu, Vuthy dan Hour terus berupaya menyiarkan informasi yang objektif untuk orang-orang di negara asalnya. Ini sejalan dengan semangat yang selama ini diemban USAGM, yang kerap menyuarakan kebebasan informasi termasuk di negara-negara yang berada di bawah pemerintahan otoriter.
“Kebijakan itu tiba-tiba,” kata Vuthy merujuk pada kebijakan Trump, dikutip dari AP News (6/4).
Adapun Hour menyayangkan bahwa para pendengarnya kini tak bisa lagi mendapatkan informasi yang akurat.
Bagi mereka, pulang ke Kamboja sebagai jurnalis dan melakukan kerja-kerja jurnalistik adalah hal yang mustahil.
Negara yang dikuasai oleh satu partai (Partai Rakyat Kamboja/CPP) itu mengalami tantangan kebebasan pers dengan indeks demokrasi yang terus merosot dalam beberapa tahun terakhir.
Selain Vuthy dan Hour, sedikitnya ada 84 jurnalis di bawah agensi yang sama yang tinggal di AS dengan visa kerja. Mereka juga terancam dideportasi.
Dari jumlah itu, 23 di antaranya, menurut laporan Reporters Without Borders, punya risiko serius ditangkap dan dipenjara di negara asalnya.
“Sangat keterlaluan bahwa para jurnalis ini, yang mempertaruhkan nyawa mereka untuk mengungkap penindasan di negara asal mereka, mungkin benar-benar ditelantarkan,” kata Thibaut Bruttin, direktur jenderal Reporters Without Borders.
Selama ini, USAGM berkontribusi dalam memperluas pengaruh AS di luar negeri.
Media-media pemerintah AS itu, misalnya, menjadi ujung tombak dalam melawan propaganda Rusia dan Cina.
Presiden Radio Free Europe/Radio Liberty (RFE/RL) Stephen Capus, salah satu penyiar generasi awal yang pertama kali mengudara ke negara-negara Blok Soviet selama Perang Dingin, menyebut penghentian pendanaan ini sebagai “hadiah besar bagi musuh-musuh Amerika.”
“Para Ayatollah Iran, pemimpin Partai Komunis Cina, serta para otokrat di Moskow dan Minsk pasti akan merayakan kehancuran RFE/RL setelah 75 tahun,” ujar Capus.
(redaksi)