Perempuan Nelayan Suarakan Penolakan Perampasan Ruang Laut dalam Diskusi UU KSDAHE

Manado, VivaSulut.com — Suara perempuan nelayan mengemuka dalam Diskusi Media: Menyingkap Potensi Perampasan Ruang Laut Pasca Terbitnya UU KSDAHE, Kamis (13/11/2025), yang diselenggarakan di Sekretariat FNPPM, Kampung Kinamang, Manado.

Diskusi ini menghadirkan sejumlah narasumber, antara lain Muhammad Ihsan Maulana (Working Group ICCA’s Indonesia/WGII), Erwin Suryana (KIARA), Dr Terri Repi (Akademisi Universitas Muhammadiyah Gorontalo), Sukardi Lumalente (LBH Manado), Prof Rignolda Djamaluddin (Akademisi Universitas Sam Ratulangi Manado).

Bacaan Lainnya

Forum menyoroti dampak UU KSDAHE terhadap masyarakat pesisir, termasuk potensi ocean grabbing atau perampasan ruang laut akibat penetapan areal preservasi, skema pendanaan konservasi, serta tumpang tindih regulasi laut dan pesisir.

Restin, perempuan nelayan dari Manado Utara, hadir sebagai penanggap yang menyampaikan langsung pengalaman masyarakat terhadap kebijakan konservasi di lapangan.

Dalam sesi tanggapan, Restin menegaskan bahwa kebijakan konservasi tidak boleh memiskinkan masyarakat yang bergantung pada laut sebagai ruang hidup.

“Kami tidak menolak konservasi. Tapi jangan jadikan konservasi sebagai alasan untuk mengambil laut yang menjadi ruang hidup kami turun-temurun,” ungkapnya.

Para akademisi juga menyoroti bahwa Sulawesi, khususnya Gorontalo dan Sulawesi Utara merupakan wilayah yang paling terdampak kebijakan konservasi yang tidak inklusif.

Dr. Terri Repi menyatakan pentingnya konser.

“UU baru ini masih mengandung sentral kolonialisme. UU ini kecenderungannya melihat masyarakat sebagai ancaman. Masyarakat tidak dilibatkan betul-betul dalam pembentukan undang-undang ini. Undang-undang nomor 5 tahun 1990 melihat konteksnya secara darat, namun pada undang-undang konservasi terbaru ditambahkan tentang laut,” ujarnya.

Ia menambahkan, adanya tumpang tindih terhadap regulasi lain seperti RZWP3K dan UU Ciptaker, namun pada intinya ini berkonsep logika kontrol.

Dengan masuknya korporasi dalam pelibatan konservasi mengakibatkan alam dipandang sebagai ladang investasi.

Dalam sanksi, tidak dijelaskan secara eksplisit apabila pemerintah atau pejabat melanggar regulasi tersebut.

Ada irisan kepentingan yang lebih banyak dan tidak tahu akhirnya seperti apa, namun pastinya yang dirugikan adalah masyarakat lokal ataupun masyarakat adat.

“Perlu adanya penerapan ecological justice, terlebih harus menguntungkan masyarakat kecil. Hal ini dikarenakan, penggunaan terminologi area preservasi, secara ekologi diartikan sebagai area yang tidak boleh diotak-atik atau dimanfaatkan oleh masyarakat itu sendiri,” ungkapnya.

Mengakhiri sesi para pembicara, Prof. Rignolda Djamaluddin menyimpulkan bahwa terkait konservasi, masyarakat sudah peduli terhadap keberlanjutan sumberdaya alam, namun selalu dapat tindakan kriminalisasi dalam membela lingkungan.

“Jika undang-undang konservasi pada akhirnya disahkan, pertanyaan saya, atas dasar apa itu disahkan? Karena pada level secara filosofis, memahami makna konservasi saja mereka sudah keliru karena menargetkan ruang bukan pada spesiesnya. Konservasi itu tidak perlu diatur secara formal, hargailah yang sudah dibuat oleh masyarakat atau berbasis komunitas (community-base). Praktek konservasi sudah ada sejak dulu, namun negara tidak mau mengakui itu,” ujarnya.

Kegiatan ini menghasilkan seruan bersama untuk menghentikan perampasan ruang laut (ocean grabbing) melalui konservasi.

Forum menolak reklamasi pantai dan laut yang mengusir nelayan dan masyarakat pesisir dari ruang hidupnya, dan mendorong lahirnya kebijakan konservasi berbasis hak asasi manusia.

Para peserta juga berkomitmen memperkuat jejaring advokasi di tingkat lokal dan nasional agar kebijakan konservasi tidak menjadi instrumen perampasan ruang, melainkan alat untuk menjaga keberlanjutan hidup manusia dan alam secara setara.

(***/Finda Muhtar)

Pos terkait