Lahendong, Panas yang Menjaga Alam

Petani aren, Danny Lasut, dengan sabar melakukan proses pasteurisasi terhadap air nira untuk menjaga kualitas rasa manis air nira, sebelum dijual. (Foto: Finda Muhtar/VivaSulut)

Liputan: Findamorina Muhtar

DI lereng hijau Lahendong, pagi selalu dimulai dengan aroma manis yang mengepul dari sebuah dapur kayu sederhana.

Di sana, di antara kepulan asap dan bara api, Danny Lasut dan istrinya, Lince, bergerak cekatan.

Keduanya, yang kini memasuki usia kepala lima, menjalankan rutinitas yang sudah mereka lakukan sejak awal 1990-an: merebus puluhan liter air nira, tetes demi tetes yang kelak menjadi gula aren, penyambung hidup keluarga dan saksi perjalanan mereka membesarkan anak-anak hingga dewasa.

Api menyala di bawah dua wajan besar hitam legam, menggerogoti tumpukan kayu yang disusun rapi di bawahnya.

“Kalau asapnya tebal begini, itu tanda rezeki,” ucap Danny sambil tersenyum, Senin (27/10/2025).

“Kami sudah terbiasa bangun sebelum ayam jantan,” ujar Lince sambil menuang nira ke wajan lain yang sudah menunggu giliran.

Danny mengangguk pelan, matanya menyiratkan pengalaman panjang meniti hidup di tanah subur ini.

Sejak muda ia telah menyatu dengan pohon nira setinggi belasan meter itu.

Tanpa tali pengaman, menapak pada ruas-ruas bambu berlubang, sementara jempol kakinya mencengkeram pijakan seperti akar yang mencari tanah.

Danny muda, terbiasa menggantungkan ember kecil di pucuk pohon.

Kini, meski tenaga tak lagi sama, semangatnya tak padam.

Tali rotan, pisau kecil, dan ember nira, bagian dari identitas yang sulit dilepas.

Di tepi tungku, wajan besar itu belum juga selesai menguapkan buih terakhir ketika suara langkah terdengar dari halaman.

Dua pria, pihak perusahaan pengolah gula aren, datang lebih awal.

Mereka berdiri menunggu dekat galon-galon kosong yang siap diisi nira, tersenyum maklum pada kesibukan tuan rumah.

“Belum selesai, sadiki le (sedikit lagi,red),” kata Lince berdialeg Manado sambil mengatur kayu api agar tetap nyala.

Danny duduk dekat wajan. Dia mengaduk-aduk nira sambil sesekali membuang buih-buih hasil perebusan.

Teknik itu dinamakan pasteurisasi, proses pemanasan air nira untuk membunuh mikroorganisme seperti bakteri dan ragi yang dapat menyebabkan fermentasi atau pembusukan.

Danny dan Lince bekerjasama dalam proses pasteurisasi air nira sebelum dijual ke pabrik gula aren.(Foto: Finda Muhtar/VivaSulut)

Begitulah setiap hari. Bahkan sebelum rebusan rampung, pembeli sudah datang.

Air nira yang baru selesai dipasteurisasi langsung dipindahkan dari wajan ke lima galon. Masing-masing berisi 24 liter, lalu ditutup rapat.

Satu liter dihargai Rp3.000 oleh pabrik. “Kalau tunggu di pasar, belum tentu habis,” kata Danny. “Tapi di sini, syukur, tiap hari habis,” lanjutnya.

Sedikit saja hitungan berjalan di kepalanya.

Air nira 50 liter, menjadi jumlah yang paling sedikit diproduksi setiap hari.

Di musim nira melimpah, angka itu bisa melonjak sampai 450 liter dalam sehari.

“Kalau begitu, sampai 18 sampai 19 galon,” ujar Danny.

Di kebun kecil mereka yang seluas lapangan bola itu, sekitar 10 pohon aren berdiri tegap.

Suami istri ini juga menyewa 20 pohon aren dari kebun lain seharga Rp200 ribu per pohon untuk 5 tahun penggunaan.

Hasil penjualan nira mengubah hidup mereka dari perlahan menjadi pasti.

Selain memiliki sebidang kebun, mereka juga telah berhasil merenovasi rumah tinggalnya di Kota Tomohon.

Tahun ini, mereka bahkan kembali membeli sebidang tanah hasil jerih payah yang sama, dari tetes nira yang dimasak pelan setiap pagi.

“Kalau boleh bilang, nira yang membangun rumah ini,” ujar Lince, memegang galon terakhir yang baru penuh.

Di sudut dapur, asap masih mengepul, menempel di rambut dan baju keduanya, memberi aroma khas yang melekat pada kehidupan mereka.

Para pembeli mengangkat galon satu per satu menuju kendaraan bak terbuka yang menunggu di tepi jalan raya, dan melambaikan tangan sebelum pergi.

Danny dan Lince tersenyum, lalu kembali menata kayu bakar untuk rebusan berikutnya.

Pagi di Lahendong kembali hening setelah pembeli pergi. Danny dan Lince duduk sejenak, menghela napas puas.

Hutan yang Menipis Demi Api Nira

Data Auriga Nusantara terkait luas deforestasi hutan di Indonesia pada tahun 2023 dan tahun 2024.(Grafis: Finda Muhtar/VivaSulut)

Tungku menyala, kayu diseret dari kebun, nira mendidih perlahan.

Tradisi ini menghidupi ribuan keluarga di Sulawesi Utara, namun meninggalkan jejak yang tak terlihat: emisi kayu bakar dan tekanan pada tutupan hutan.

Ya. Di balik manisnya air nira, tersimpan jejak luka pada lanskap hutan Sulawesi Utara.

Di beberapa desa penghasil nira di Kota Tomohon dan Kabupaten Minahasa, aroma asap kayu hingga belasan kilometer bukan hanya tanda kehidupan ekonomi pedesaan, tetapi juga penanda perlahan surutnya tutupan pohon di kaki hutan-hutan rakyat.

Setiap hari, petani yang masih mengolah nira menjadi gula merah harus menyalakan tungku besar sejak pagi.

Batang-batang kayu kering disusun, lalu dibakar untuk menjaga api tetap hidup selama 3 hingga 12 jam per proses perebusan.

Satu kali produksi membutuhkan puluhan kilogram kayu bakar.

Dalam seminggu, kebutuhan itu berlipat menjadi ratusan kilogram.

Dalam sebulan, kayu yang dibakar setara beberapa pohon dewasa.

Di banyak kampung aren di Tomohon, Minahasa, dan Minahasa Selatan, tradisi ini berlangsung sejak puluhan tahun lalu.

Namun kini, tekanan terhadap hutan mulai terasa.

Kebun yang dahulu dilingkari pepohonan kini berubah menjadi lahan terbuka.

Semak belukar yang dulu rimbun berganti tunggul dan akar kering.

Para petani sebenarnya tidak berniat merusak alam. Mereka hanya mengejar penghidupan.

Namun pilihan energi mereka masih bergantung pada kayu, sumber daya yang semakin menipis.

Ketika satu kebun habis, mata diarahkan ke kebun lain.

Bagi mereka, tungku tradisional tetap menjadi satu-satunya cara menjaga dapur tetap menyala.

Data Global Forest Watch menunjukan, pada tahun 2020, Sulawesi Utara memiliki 607 ribu hektar (Ha) hutan alam, yang membentangi lebih dari 42% luas daratannya.

Pada tahun 2024, ia kehilangan 798 Ha hutan alam, setara dengan 669 kt emisi CO₂.

Sementara, data Auriga Nusantara, deforestasi Indonesia pada 2024 teridentifikasi seluas 261.575 hektare, meningkat 4.191 hektare dari deforestasi tahun sebelumnya yang tercatat seluas 257.384 hektare.

Namun kabar baiknya, deforestasi di Sulawesi, Papua, Kepulauan Maluku, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara tahun 2024 mengalami penurunan, berbeda dengan deforestasi yang terjadi di Kalimantan dan Sumatera yang mengalami peningkatan.

Di tengah tekanan ekonomi, kesadaran lingkungan di Sulawesi Utara, belakangan waktu rupanya mulai tumbuh.

Sejumlah petani mencoba menanam kembali bibit pohon cepat tumbuh.

Namun upaya sporadis itu harus diakui belum sebanding dengan laju konsumsi kayu yang tak pernah berhenti.

Di sisi lain, sebagian petani memilih meninggalkan proses pengolahan manual dan menjual nira mentah ke pabrik atau pengepul.

Pilihan ini bukan hanya lebih ringan secara tenaga, tetapi juga menyelamatkan hutan kecil di sekitar rumah mereka.

Tersambung Jejaring Manis di Lereng Lahendong

PT Gunung Hijau Masarang yang beroperasi di Tomohon Selatan Kota Tomohon, yang bersebelahan langsung dengan salah satu site PGE Lahendong.(Foto: Dok. Yayasan Masarang)

Setelah galon-galon nira diangkat pergi dari halaman rumah kebun Danny dan Lince, perjalanan tetes manis dari lereng Lahendong berlanjut menuju sebuah simpul ekonomi hijau, yaitu pabrik pengolahan nira di PT Gunung Hijau Masarang milik Yayasan Masarang.

Di bangunan yang tertata rapi di antara hamparan kebun dan garis bukit, nira-nira dari berbagai petani Minahasa dan Tomohon ditampung, diuji, dan diproses.

Pabrik Masarang adalah ekosistem yang tidak hanya membeli hasil panen, ia adalah sistem yang membangun masa depan.

Di pabrik ini, 234 petani aren bersandar, mengalirkan hasil tetesan kerja mereka setiap pagi.

Dari pohon aren yang dipanjat secara tradisional hingga teknologi pemanasan modern, rantai ini disatukan oleh satu prinsip kesejahteraan yang tidak boleh berdiri dengan mengorbankan alam.

Dita Mantiri, managemen Pabrik Masarang menjelaskan, model bisnis mereka sejak awal dibangun di atas asas konservasi dan pemberdayaan.

Ia kemudian mengungkap gambaran yang mencolok, secara rata-rata 10,6 kilogram kayu bakar dibutuhkan untuk menghasilkan 1 kilogram gula aren jika proses dilakukan secara tradisional.

Dengan angka itu, satu kampung pengolah nira bisa membakar ratusan kilogram kayu setiap pekan, tanpa disadari mempercepat penyusutan tutupan pohon di sekitar kebun rakyat.

Olehnya, Masarang melakukan perubahan di Lahendong, wilayah dengan sumber panas bumi alami, yakni menggantikan tungku kayu dengan energi panas bumi (brine).

Pabrik gula aren binaan Yayasan Masarang memanfaatkan air panas sisa operasi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) PGE Lahendong sebagai sumber panas pengolahan nira. Tanpa kayu, tanpa asap.

Dampaknya terukur. Catatan program menunjukkan bahwa penggunaan brine dalam pemanasan nira telah menyelamatkan sekitar 995 pohon dari penebangan sebagai bahan bakar produksi gula aren tradisional.

Tampilan citra satelit pada Google Earth menunjukan perubahan pada tutupan hutan di area kaki Gunung Lokon, Kota Tomohon.

Pada tahun 2015 areal ini memiliki beberapa titik yang terbuka namun pada update tahun 2023 mulai tertutup.

Selain itu, 234 petani aren kini terlibat dalam skema produksi bersih ini melalui fasilitas olahan yang terhubung dengan energi panas bumi dengan serapan 28.366 liter nira per tahun dan potensi pendapatan hampir Rp690 juta setahun.

“Filosofi Pak Willie Smits selaku pendiri yayasan ini sangat sederhana yaitu tentang pengelolaan lingkungan, bagaimana caranya agar pabrik ini berdaya untuk masyarakat sekitar. Petani harus sejahtera, dan pohon harus tetap berdiri,” ujar Dita, ditemui pertengahan akhir September 2025.

Yayasan Masarang resmi didirikan pada 17 Januari 2001 dan terdaftar secara resmi di Indonesia pada 22 Januari 2001 kemudian diresmikan tahun 2007 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Di pabrik Masarang, nira yang datang setiap hari tidak dibawa kembali ke tungku berbahan bakar kayu seperti di rumah-rumah petani.

Di sini uap panas bumi menjadi tenaga utama.

Brine, atau panas sisa dari fasilitas PGE Lahendong disalurkan untuk membantu proses pemanasan nira.

Kerja sama ini menciptakan rantai produksi yang nyaris tanpa emisi dari pembakaran kayu, menjaga lingkungan dari tekanan eksploitasi dan memastikan tidak sebatang pohon pun ditebang untuk bahan bakar di pabrik.

“Dengan memanfaatkan energi panas bumi, kami berupaya menjaga hutan tetap utuh,” kata Dita.

Selain itu, gula aren yang diproduksi PT Gunung Hijau Masarang juga memiliki sertifikat Control Union dari PT PCU Indonesia yang berpusat di Belanda dan bergerak pada program di bidang pertanian, makanan, pakan, hasil hutan, tekstil, dan bioenergi.

Setiap petani yang memasukan nira ke pabrik wajib menjalani proses pemeriksaan bebas bahan kimia, mulai dari areal lahan perkebunan.

Ini membuat Masarang menjadi satu-satunya pabrik gula aren organik di Indonesia dengan mengambil air nira langsung dari petani dan bukan sudah berbentuk gula aren.

“Pihak Control Union secara independen melakukan pengujian secara berkala baik langsung di kebun petani atapun di produk kita yang sudah jadi. Dengan kualitas yang terstandar tadi dengan jaminan keamanan pangan, kami bekerjasama dengan petani-petani pilihan yang melakukan aktifitas secara organik,” jelas Dita.

Dita tak menepis, beroperasinya pabrik gula aren Masarang adalah berkah dukungan langsung PGE Lagendong.

“Pabrik tidak pernah berproduksi tanpa bantuan uap panas,” tutup Dita, yang menegaskan peran central PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) Lahendong, yang merupakan bagian dari Subholding Power & New Renewable Energy (PNRE) milik PT Pertamina (Persero).

 

PGE Lahendong Menyelamatkan Hutan Sulawesi

PGE Area Lahendong.

Di Sulawesi Utara, hutan bukan sekadar lanskap hijau. Ia adalah penyangga mata air, pelindung tanah vulkanik dari erosi, rumah bagi satwa endemik, dan penghidupan petani aren yang memanjat pohon setiap pagi.

Namun hutan juga rapuh, terus tergerus pembukaan kebun, tekanan pemukiman, dan praktik produksi tradisional yang masih bergantung pada kayu.

Dalam lanskap itu, PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) Area Lahendong tampil sebagai perusahaan energi yang memanfaatkan panas bumi sebagai sumber listrik dan kini juga sebagai penopang keberlanjutan ekologi.

PGE Area Lahendong di Sulawesi Utara adalah salah satu pionir pengembangan energi panas bumi di Indonesia Timur.

Sejak 2001, PGE mengoperasikan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) dengan kapasitas terpasang 120 MW dari enam unit yang menjadi andalan pasokan listrik untuk Sulawesi Utara dan Gorontalo.

Wilayah kerja panas bumi Lahendong.(Grafis: PGE Area Lahendong)

Selain menghasilkan listrik ramah lingkungan, PGE Lahendong juga berperan dalam program Desa Energi Berdikari (DEB), sebuah inisiatif Pertamina untuk mendorong kemandirian masyarakat berbasis energi terbarukan.

Melalui pemanfaatan brine panas bumi, PGE bersama Yayasan Masarang mendukung 234 petani aren dalam pengolahan gula aren.

Program ini tidak hanya meningkatkan pendapatan petani, tetapi juga mengurangi ketergantungan pada kayu bakar, menyelamatkan hutan, dan menciptakan model pemberdayaan berkelanjutan yang dapat direplikasi.

Dengan demikian, PGE Lahendong bukan hanya pusat produksi energi bersih, tetapi juga katalis pembangunan sosial-ekonomi, pelestarian lingkungan, serta contoh nyata transisi energi hijau di tingkat lokal.

Dengan menyediakan panas bumi sisa pembangkit untuk proses pemasakan nira, PGE membantu menciptakan rantai produksi gula aren tanpa kayu bakar.

Sistem tertutup memastikan panas yang dipakai kembali diinjeksikan ke perut bumi, energi bersih tanpa sisa, tanpa asap, tanpa penebangan.

Program ini, bekerja bersama Yayasan Masarang, mencatat dampak ekologis dan sosial nyata: ratusan pohon terselamatkan dari penebangan setiap tahun, ratusan petani terlibat, dan puluhan ribu liter nira masuk sistem produksi bersih.

Ini bukan sekadar program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL), melainkan model transisi energi di tingkat akar rumput.

Konsep yang lahir dari Lahendong menunjukkan paradigma baru menjaga hutan bukan berarti menghentikan ekonomi, tetapi menggantikan praktik lama dengan energi yang lebih bersih dan efisien.

Petani tetap mendapatkan penghasilan, bahkan lebih pasti, sementara tekanan terhadap sumber daya kayu menurun.

Di era di mana isu kehutanan sering berhadapan dengan kepentingan ekonomi, pendekatan ini menciptakan harmoni, industri yang justru menjaga benteng hijau masyarakat desa.

Tidak hanya fokus pada penyediaan energi, PGE Lahendong juga menunjukkan rekam jejak keberlanjutan yang kuat.

Unit ini telah meraih 52 penghargaan nasional di bidang lingkungan dan pemberdayaan masyarakat serta dua penghargaan internasional yaitu Silver The Internastional CSR Excellence Award 2024 dan Platinum The 17th Global CSR & ESG Summit Award 2025.

Pencapaian prestisius Proper Emas turut mengukuhkan komitmen perusahaan dalam mematuhi standar pengelolaan lingkungan tertinggi di Indonesia.

Dalam hal keberlanjutan global, PGE Lahendong memperoleh rating risiko ESG 7,1 dari lembaga internasional Sustainalytics.

Angka ini menempatkan perusahaan pada kategori risiko rendah, menunjukkan tata kelola lingkungan, sosial, dan tata kelola yang kuat, serta kesiapan menghadapi tuntutan pasar energi dunia yang semakin ketat terhadap aspek emisi dan keberlanjutan.

Pos terkait