Manado, VivaSulut.com – Kasus dugaan penyelundupan cula badak oleh warga negara Cina bernama Bao Qi berakhir tanpa kejelasan.
Penyidik Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Balai Gakkum LHK) Wilayah Sulawesi resmi menghentikan penyidikan melalui Surat Penetapan Penghentian Penyidikan (SP3) dengan alasan tidak cukup bukti dan bukan merupakan tindak pidana.
Namun di balik keputusan itu, muncul pertanyaan besar soal kinerja dan profesionalisme lembaga terkait, termasuk Balai Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan Sulawesi Utara atau Karantina Sulut dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Utara atau BKSDA Sulut yang pertama kali menangani temuan tersebut.
Kuasa hukum Bao Qi, Glenn Lumingkewas SH dan Roy Liow SH, mengungkapkan bahwa klien mereka sejak awal menjadi korban dari penegakan hukum yang tidak cermat.
“Penyidik Gakkum tidak memiliki metode pemeriksaan yang tepat sebelum menetapkan tersangka. Pemeriksaan barang bukti cula badak tidak dilakukan di laboratorium, hanya dilihat lewat mikroskop,” ujar Glenn, Jumat (24/10/2025).
Menurut Glenn, kesalahan fatal itu berawal dari ketidaktelitian petugas Karantina dan BKSDA di Bandara Sam Ratulangi, yang langsung melaporkan temuan barang bawaan Bao Qi tanpa memastikan keaslian benda tersebut.
“Padahal barang yang dibawa itu replika cula badak, bukan yang asli. Pemeriksaan di bandara Guangzhou juga sudah menyatakan barang tersebut legal dibawa keluar dari Tiongkok,” jelasnya.
Bao Qi diketahui tiba di Manado pada 20 Maret 2025 dari Guangzhou dengan membawa 13 replika cula badak, empedu sapi, dan 12 taring harimau.
Seluruh barang telah lolos pemeriksaan di negara asalnya.
Namun, ketika tiba di Manado, petugas Bea Cukai, Badan Karantina Indonesia (Barantin) melalui Balai Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan Sulawesi Utara (Karantina Sulut) dan BKSDA Sulut justru menuduh Bao Qi melakukan upaya penyelundupan bagian tubuh satwa dilindungi.
Kasus ini kemudian bergulir cepat. Bao Qi ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan hingga lebih dari dua bulan.
Namun, setelah serangkaian pemeriksaan, penyidik akhirnya menyatakan tidak ada bukti bahwa cula tersebut asli dan menutup kasus dengan SP3.
“Kalau sejak awal dilakukan uji laboratorium yang benar, tidak perlu sampai ada penetapan tersangka,” tambah Glenn.
Keputusan SP3 ini menimbulkan sorotan terhadap kinerja lembaga konservasi dan karantina di Sulut, yang dinilai ceroboh, terburu-buru, dan tidak profesional dalam menangani kasus berimplikasi internasional.
Glenn menilai kasus ini menunjukkan lemahnya koordinasi antarinstansi, serta minimnya kapasitas petugas lapangan dalam mengidentifikasi benda terkait satwa dilindungi.
“Kasus ini bisa menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum konservasi. Salah tangkap dan salah prosedur bukan hanya merugikan seseorang, tapi juga mencoreng kredibilitas lembaga konservasi kita,” ujarnya.
Sementara itu, hingga kini pihak KLHK Sulut, Balai Karantina dan BKSDA Sulut belum memberikan penjelasan resmi terkait dugaan kelalaian mereka.
Mereka juga belum menjelaskan mengapa barang yang seharusnya bisa diuji secara ilmiah di laboratorium justru langsung dijadikan dasar penetapan tersangka.
Bao Qi sendiri telah dideportasi ke Tiongkok pada 2 Oktober 2025, setelah status hukumnya dinyatakan bersih.
Kuasa hukumnya menegaskan, tuduhan adanya jaringan penyelundupan satwa internasional tidak benar.
“Bao Qi hanya seorang manajer perusahaan pariwisata yang datang untuk survei potensi wisata di Sulut,” tegas Glenn.
(Finda Muhtar)




