Manado, VivaSulut.com – Taman Budaya Sulawesi Utara sebagai ikon seni dan kebanggaan daerah, terancam hilang.
Lahan yang sejak 1987 menjadi pusat kreativitas seniman Sulut dikabarkan akan dialihfungsikan menjadi SPBU.
Kabar itu bukan rumor. Pada 1 Oktober lalu, ASN dari BKAD Provinsi Sulut terlihat mengukur lahan dan bangunan di kawasan Taman Budaya, Rike, Wanea.
Langkah itu memicu gelombang protes besar dari para seniman.
“Ini sudah di titik nadir. Rumah kami mau dihancurkan demi SPBU? Kami tidak tinggal diam!” tegas Aldes Sambalao, perupa teater sekaligus koordinator Gerakan Seniman Sulut (GEMAS), Senin (13/10/2025).
Ratusan pelaku seni dari 34 komunitas menyatakan siap turun ke jalan pada pekan ketiga Oktober 2025, menolak keras rencana tersebut.
Tagar #KebudayaanMemanggil kini bergema di media sosial sebagai bentuk seruan perlawanan.
Gerakan ini melibatkan beragam simpul seni seperti Asosiasi Seni Tradisional Daerah Sulut, Wale Teater, Forum Perupa Sulut, Dewan Adat Talaud, Sanggar Seriwang-Sangihe, AKSI, Teater Monibi, hingga Komunitas Budaya Tionghoa Sulut.
“Taman Budaya bukan hanya gedung pentas. Ia laboratorium kreativitas dan simbol jati diri Sulut,” ujar Alfred Pontolondo, perupa lukis.
Taman Budaya Sulut diresmikan oleh Mendikbud Prof. Fuad Hasan pada 8 Januari 1987 dan pernah berjaya pada 2016 saat menjadi tuan rumah Temu Taman Budaya se-Indonesia.
Namun sejak 2017, tempat ini ditelantarkan setelah statusnya diturunkan dan kegiatan dihentikan.
“Jika seni tak lagi diberi ruang, roh masyarakat ini tercerabut. Tanpa budaya, kita bukan siapa-siapa,” tutur Jhon Piet Sondakh, seniman senior.
Gerakan ini juga mendapat dukungan luas dari tokoh-tokoh lintas generasi seperti Eric Dajoh, Inyo Iverdixon Tinungki, Reiner Ointoe, Jupiter Makasangkil, Alex Jhon Ulaen, Pitres Sombowadile, Jaya Masloman, Tonny Mandak, Ferro Kuron, Ruland Wawoh, John Semuel, Melky Runtu, Arie Tulus, dan Joppy Sajouw.
“Kebudayaan bukan sektor pelengkap, tapi fondasi bangsa. Jika ini dihancurkan, kita membangun tanpa ruh,” tegas Vick Baule, sutradara teater.
Tiga etnis besar, yaitu Minahasa, Totabuan, dan Nusa Utara juga turut menyuarakan penolakan.
Mereka menegaskan, budaya adalah perekat sosial yang tak boleh digusur atas nama ekonomi.
“Kami bukan anti pembangunan. Tapi kami menolak pembangunan yang membunuh kebudayaan. SPBU bisa dibangun di mana saja, Taman Budaya cuma satu,” tutup Aldes Sambalao.
(Finda Muhtar)