Jakarta, VivaSulut.com – Organisasi HAM dunia menyoroti rangkaian demo di Indonesia pada Kamis (28/8/2025) diwarnai tindakan represif aparat keamanan.
Sebanyak 211 mendesak kepolisian Republik Indonesia (RI) berhenti menggunakan kekerasan saat menghadapi demonstran dan memastikan operasi pengendalian massa sesuai standar hukum nasional maupun internasional.
Desakan itu dimuat dalam pernyataan bersama yang dirilis oleh Forum Asia pada Minggu (31/8/2025) berjudul “Pernyataan Bersama: melindungi hak berunjuk rasa, solidaritas internasional dengan Indonesia #stopkebrutalanpolisi” seperti dilansir dari Kompas.com.
Mulai 28 Agustus, sekitar puluhan ribu orang melakukan demo di berbagai kota, meliputi Jakarta, Manokwari, Semarang, Solo, Magelang, Medan, Bengkulu, dan Tegal.
Para demonstran menyuarakan tuntutan yang, meliputi kenaikan upah minimum 8,5-10 persen untuk 2026, penghentian PHK massal, penghapusan outsourcing, reformasi pajak, serta pengesahan RUU perampasan aset koruptor.
Selain itu, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) juga mendesak pemotongan gaji anggota DPR RI sebesar 20-30 persen sebagai bentuk solidaritas terhadap kondisi ekonomi rakyat serta solusi atas defisit anggaran negara.
Insiden kematian Affan Kurniawan
Namun, respons aparat keamanan Indonesia dalam demo besar 28-29 Agustus mendapat perhatian serius banyak organisasi HAM dunia.
KontraS mendokumentasikan penembakan peluru tajam, penyiksaan, penangkapan massal, dan penggunaan kekuatan berlebihan yang menimbulkan 113 korban luka berat, tiga meninggal dunia, serta 734 orang ditangkap.
Salah satu korban adalah Affan Kurniawan, pengemudi ojek online yang tewas dilindas kendaraan taktis (rantis) Brimob di Jakarta.
KontraS menyebut kematian Affan mencerminkan penggunaan kekerasan tidak proporsional terhadap warga sipil.
Organisasi HAM dunia melihat praktik kekerasan aparat Indonesia bersifat berulang dalam setiap gelombang demo sejak Reformasi Dikorupsi 2019, Omnibus Law 2020, hingga protes Papua dan Rempang.
Pola itu ditandai penangkapan massal, represi, hingga impunitas.
Rincian tuntutan organisasi HAM dunia
Adapun berikut rincian tujuh tuntutan organisasi ini kepada Pemerintah Indonesia meliputi:
1. Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) harus segera mengakhiri penggunaan kekuatan yang berlebihan, memastikan semua operasi pengendalian massa mematuhi Perkap No. 1 Tahun 2009 dan standar hak asasi manusia internasional seperti Pedoman PBB tentang Senjata Kurang Mematikan dan Kode Etik PBB untuk Pejabat Penegak Hukum, dan menyelidiki secara tidak memihak petugas yang bertanggung jawab atas pelanggaran;
2. Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) akan melakukan pengawasan independen dengan meluncurkan penyelidikan mendesak terhadap kekerasan polisi pada tanggal 28 Agustus 2025 dan merekomendasikan sanksi disiplin dan pidana;
3. Institusi Kepolisian (Polri dan Kompolnas) serta Tentara Nasional Indonesia (TNI) harus menghentikan semua praktik penghilangan paksa maupun penghilangan paksa jangka pendek dan memastikan pembebasan serta perlindungan segera terhadap semua warga sipil yang ditahan secara sewenang-wenang;
4. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) harus melakukan investigasi yang cepat, imparsial, dan transparan terhadap semua kasus penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, dan pembunuhan di luar hukum yang terkait dengan protes baru-baru ini, serta memberikan perlindungan bagi korban dan saksi.
Lembaga ini juga harus mengintensifkan pemantauan terhadap komponen-komponen spesifik dalam insiden tersebut, seperti penggunaan senjata pengendali massa yang berlebihan termasuk gas air mata, pentungan, dan peluru karet, hingga kendaraan taktis, terutama dalam insiden di mana seorang pengemudi taksi daring ditabrak oleh kendaraan taktis Brimob saat demonstrasi;
5. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) harus memastikan pengawasan legislatif yang sesungguhnya dengan memanggil Kapolri untuk menghadiri sidang pertanggungjawaban publik, menuntut penjelasan atas tindakan represif yang melanggar hukum, dan menjamin bahwa semua operasi pengendalian massa di masa mendatang sepenuhnya mematuhi hukum nasional dan standar internasional.
DPR juga harus segera mempercepat pembahasan dan pengesahan undang-undang yang melindungi hak-hak buruh, perlindungan sosial, dan kebebasan sipil.
Sebagai lembaga yang diprotes oleh rakyat, DPR tidak dapat bersembunyi di balik tindakan represif, melainkan harus berhadapan langsung dengan masyarakat sipil Indonesia, mendengarkan keluhan mereka, dan bertindak secara bertanggung jawab untuk memulihkan kepercayaan publik.
Sebagai aktor utama yang diprotes oleh warga sipil, DPR juga harus berhadapan langsung dengan elemen-elemen masyarakat sipil Indonesia sebagai pihak yang diprotes;
6. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia harus segera meratifikasi Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (ICPPED) dan mengadopsi undang-undang domestik yang diperlukan untuk mencegah praktik penghilangan paksa yang berulang, memastikan investigasi yang tepat waktu dan tidak memihak, dan meminta pertanggungjawaban semua pelaku;
7. Presiden Indonesia secara terbuka mengutuk kekerasan polisi, menjamin perlindungan hak berkumpul secara damai, dan memastikan kepatuhan penuh Indonesia terhadap kewajiban hak asasi manusia internasionalnya, termasuk persyaratan bahwa setiap persidangan terkait kekerasan polisi selama demonstrasi harus dilakukan secara transparan dan terbuka. Kepolisian harus melakukan evaluasi dalam menangani demonstrasi dengan mengutamakan pendekatan non-kekerasan.
(redaksi)