Michael Jacobus Sebut Prabowo di Putusan Abolisi dan Amnesti Tom Lembong serta Hasto Kristianto

Bitung, VivaSulut.com – Advokat muda Sulawesi Utara (Sulut), Dr Michael Remizaldy Jacobus SH MH menanggapi abolisi atau penghapusan proses pidana terhadap Tom Lembong dan amnesti atau pengampunan terhadap Hasto Kristianto dalam kasus tindak pidana korupsi.

Doktor ilmu hukum jebolan Universitas Trisakti ini mengatakan, dalam kasus Tom Lembong jelas tidak ditemukan adanya niat jahat mens rea untuk memperkaya atau menguntungkan diri sendiri atau subyek hukum lainnya.

Bacaan Lainnya

Sedangkan, Hasto Kristianto dituduh menyediakan uang suap sebesar Rp 400juta dalam kasus Harun Masiku, hanya atas dasar keterangan dua orang saksi dan percakapan WhatsApp saksi kedua saksi tersebut.

“Alat bukti yang menunjukan mens rea Tom Lembong tidak ada, sebaliknya Hasto Kristianto dinyatakan bersalah atas dasar keterangan dua orang saksi dan percakapan WhatsApp kedua saksi tersebut tanpa ada alat bukti lain yang mengkonfirmasi fakta apa benar uang itu dari Hasto. Nah, ketika peradilan menyatakan mereka bersalah, menurut saya ini adalah peradilan sesat atau dalam istilah Belandanya disebut Rechterlijke Dwaling,” kata Michael, Sabtu (2/8/2025).

Salah satu advokat terbaik Sulut yang saat ini menjadi Ketua Tim Penasihat Hukum Ketua Sinode GMIM Pdt Hein Arina Th D dan mantan Kepala BKAD Provinsi Sulut Jeffry R Korengkeng SH MSi memaparkan, Pasal 183 KUHAPidana mensyaratkan untuk menyatakan seseorang bersalah adalah sekurang-kurangnya dua alat bukti dimana berdasarkan alat bukti tersebut hakim meyakini kesalahan terdakwa, maka barulah diputuskan seseorang bersalah.

“Menurut ketentuan tersebut, keyakinan hakim bukanlah hal yang hadir tiba-tiba, melainkan dibangun atau dikonstruksikan oleh sekurang-kurangnya dua alat bukti,” katanya.

Artinya, kata Direktur MRJ Law Office ini, tanpa bukti hakim tidak bisa mengadili berdasarkan keyakinan semata. Dan pengertian sekurang-kurangnya dua alat bukti dalam Pasal 183 KUHAPidana seharusnya dimaknai sekalipun sudah ada dua alat bukti misalnya dua orang saksi dan bukti WhatsApp dua orang saksi tersebut.

“Maka menurut saya ini belum cukup untuk mengkonstruksikan fakta. Karena keterangan dua orang saksi dan percakapan WhatsAppnya tidak bisa berdiri sendiri tanpa ada alat bukti lain yang sinkron dengan dengan tuduhan,” katanya.

“Jadi bila terdapat alat bukti saksi dan percakapan WhatsApp, namun tidak terhubung dengan fakta kejahatan misalnya dalam kasus Hasto terkait sumber uang suap, maka keterangan saksi dan WhatsApp hanya berdiri sendiri dan tidak patut menjadi dasar dalam membenarkan suatu fakta. Itulah sebabnya, jika prinsip-prinsip ini dilanggar, maka itulah peradilan sesat (miscarriage of justice),” jelasnya.

Advokat yang menyelesaikan disertasinya dibidang tindak pidana korupsi ini, berpendapat bahwa abolisi dan amnesti terhadap Tom Lembong dan Hasto Kristianto adalah bentuk penyelamat terhadap peradilan sesat (Rechterlijke Dwaling).

“Abolisi dan amnesti seharusnya tidak diperlukan jika Peradilan menjadi tempat ditemukannya keadilan. Jika aparat penegakan hukum berjalan normal, tidak seharusnya ada abolisi dan amnesti, karena Tom Lembong dan Hasto seharusnya bebas,” katanya.

Langkah Presiden Prabowo, kata dia, merupakan bentuk penyelamatan terhadap rechterlijke dwaling (peradilan sesat) dan penegakan hukum yang upnormal (tidak normal).

“Fakta ini peringatan bagi Aparat Penegak Hukum agar tidak tersesat apalagi menggunakan hukum sebagai alat politik, karena sedangkan bintang dilangit boleh jatung apalagi cuma bintang di bahu,” katanya.

(redaksi)

 

Pos terkait