Bitung, VivaSulut.com – Salah satu pejuang tanah Erfpacht eks HGU PT Kinaleosan Kota Bitung, Christian Egam meluruskan sejarah dan perjuangan membesakan lahan yang kini diklaim sejumlah pihak.
Christian mengaku perlu meluruskan sejarah mengingat sejumlah pihak coba membentuk opini hingga memakan korban akibat membeli tanah hanya bermodalkan registrasi palsu.
“Saya sebagai juru bicara komponen masyarakat erpacht eks HGU PT Kinaleosan merasa terpanggil untuk menceritakan keadaan yang sebenarnya dari permasalahan tanah ini sesuai yang kami tahu, yang kami alami dan kami jalani agar semua bisa paham dan apa yang saya sampaikan, saya pertanggungjawabkan dunia dan akhirat,” kata Christian, Senin (26/5/2025).
Di 2008, kata Christian, sesuai ketentuan berakhir masa sewa dari Keluarga dr Batuna tetapi pada 2004 dr Batuna mengajukan pelepasan kepada Pemkot Bitung pada saat itu Wali Kota Alm Milton Kansil.
Di 2024, perjuangan proses pelepasan dimulai dan disinilah terjadi permainan dimana terbit sertipikat diatas tanah itu.
“Setelah kami telusuri dan dapat copyan sertipikat, ternyata kebanyakan adalah kerabat dari Kepala BPN Sulut pada saat itu yang tidak sesuai sesuai aturan dimana yang mendapat serifikat adalah orang-orang dari luar Kota Bitung dan besaran luas tanah perorang sekitar lima hektar lebih dan ada yayasan sampai hampir sepuluh di luar sertifikat dari dr Batuna sebagai pemegang HGU pada saat itu,” jelasnya.
Berdasarkan data dan bukti itu, lanjut Christian, melalui Aryanti Baramuli sebagai anggota DPD Sulut pada saat itu, dirinya berperkara di PTUN Manado dengan didukung penuh 16 pengacara dari IKA Permahari Jakarta dan dibantu dua pengacara dari Sulut.
Dalam gugatan, pihak Christian menggugat 13 sertipikat dan tidak menggugat sertipikat dari dr Batuna karena pemahaman para pengacara beliau sabagai pemegang HGU berhak mendapatkan lahan di atas tanah tersebut.
“Dan berdasarkan putusan PK MA Nomor: 101 tahun 2010, putusan PK MA inchrach pemanang adalah masyarakat penggugat yang saat itu diwakili oleh sekitar 600 orang,” katanya.
Jadi, lanjutnya, tanah yang dimenangkan masyarakat sejak putusan PK MA sudah menjadi hak dari masyarakat yang menggugat bukan lagi status tanah negara yang tidak bertuan dan tentunya terus berproses serta bersertipikat didasari pengurusan berdasarkan register.
“Jadi harus dibedakan yang menjadi obyek sengketa tanah saat ini yang lagi berperkara di Pengadilan Negeri Bitung dengan putusan PK MA tahun 2010 agar tidak simpang siur dalam pemahaman permasalahan tanah eks HGU PT Kinaleosan,” katanya.
Sementara itu, seiring berjalannya waktu, ada sejumlah pihak yang memanfaatkan lahan itu dengan memperjualbelikan dengan harga Rp24 juta dengan luas tanah 13 meter kali 28 meter di Kelurahan Girian Indah.
Ironinya, tanah yang sudah bersertipikat atas nama Keluarga dr Batuna ikut juga diklaim dan diperjualbelikan dengan menerbitkan register baru hingga banyak warga yang menjadi warga karena harga yang ditawarkan sangat murah.
(redaksi)