Ketua Sinode GMIM Tersangka, Michael Jacobus: Mari Berbudaya Hukum yang Benar

Dr Michael Remizaldy Jacobus SH MH.(ist)

Bitung, VivaSulut.com – Kasus dugaan korupsi dana hibah sinode GMIM memasuki babak baru. Polda Sulut resmi menetapkan lima orang tersangka kasus dana hibah sinode GMIM, termasuk Ketua BPMS GMIM, Pdt HA.

Kasus ini mendapat respon salah satu advokat muda Sulut, Dr Michael Remizaldy Jacobus SH MH. Dirinya memberikan pemaparan hukum hingga Polda menetapkan lima tersangka terduka dana hiba sinode GMIM.

Bacaan Lainnya

Michael yang juga kader GMIM menyatakan bahwa prinsipnya penyidik seharusnya sudah memiliki minimal dua alat bukti sebelum menetapkan seseorang sebagai tersangka.

Itulah sebabnya, ketika dikejar awak media untuk menanggapi kasus tersebut yang saat ini sangat viral didunia maya, advokat berkanitor di Citylofts Sudirman Jakarta Pusat ini, mengatakan terkait kasus ini secara spesifik pasti penyidik dan kuasa hukum tersangka yang mengetahui “isi perutnya” seperti apa.

“Akan tetapi, perlu untuk dipahami bahwa setiap kasus dana hibah itu memiliki kemungkinan mengarah ke tindak pidana korupsi (tipikor) menurut tiga alasan substantif, yakni jika terdapat perbuatan melawan hukum dan/atau penyalahgunaan kewenangan pada: pertama, level permohonan hingga pencairan dana hibah, kedua, level penggunaan dan pertanggungjawaban dan hibah, atau ketiga, pada kedua level tersebut secara bersamaan,” jelas Michael, Selasa (8/4/2025).

Doktor Ilmu Hukum jebolan Fakultas Hukum Universitas Trisakti ini, menambahkan bahwa, Pertama, menurut Permendagri Nomor: 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah dan beberapa petunjuk teknis menyebutkan kalau helanja hibah memenuhi kriteria paling sedikit:
a) peruntukannya secara spesifik telah ditetapkan;
b) bersifat tidak wajib, tidak mengikat;
c) tidak terus menerus setiap tahun anggaran, kecuali:

(1) kepada pemerintah pusat dalam rangka mendukungpenyelenggaraan pemerintahan daerah sepanjang tidak tumpang tindih pendanaannya dengan APBN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

(2) badan dan lembaga yang ditetapkan oleh pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;

(3) partai politik dan/atau ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan;
d) memberikan nilai manfaat bagi pemerintah daerah dalam mendukung terselenggaranya fungsi pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.
e) memenuhi persyaratan penerima hibah.

Dengan demikian, Doktor ilmu hukum termuda Kota Bitung ini, penyalahgunaan wewenang yang menjurus ke korupsi bisa saja terjadi ketika ada kesengajaan meloloskan permintaaan hibah yang tidak memenuhi syarat.

Apalagi, lanjutnya, ketika pejabat terkait sengaja meloloskan atau tidak meneliti secara seksama pemenuhan syarat, maka yang bisa kena tipikor khususnya penyalahgunaan wewenang sesuai Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor adalah Pejabat Pemda terkait selaku pemberi hibah.

Ketika ditanyakan secara spesifik terkait pemberiaan hibah ke GMIM yang berlangsung setiap tahun, Michael menegaskan itu dapat saja dikualifisir sebagai pelanggaran.

“Kemungkinan itu yang jadi sasaran penyidik, walapun bisa saja Pemda memiliki alasan hukum yang menjustikasinya,” katanya.

Lanjut advokat berdarah Nusa Utara ini, kedua, tipikor pada level penggunaan dana hibah bisa saja disebabkan oleh penggunaan yang secara eksplisit dilarang oleh Undang-undang, atau dilarang peraturan-peraturan yang diterbitkan pemerintah dan berakibat pada memperkaya diri sendiri atau orang lain atau koorporasi.

“Sedangkan, ketiga adalah kombinasi kedua alasan dimaksud,” katanya.

Selanjutnya, ketika ditanyakan apakah dana hibah dimaksud bisa dipergunakan untuk hadiah atau katakanlah semacam “diakonia” kepada Pendeta-pendeta atau pihak lainnya.

“Jawabannya sederhana, bisa kena tipikor atau tidak sangat tergantung pada sumber hukum apa yang melarang penggunaan dana hibah untuk hadiah atau “diakonia”. Jadi, bila pemberian hadiah itu dilarang secara eksplisit dalam Perjanjian Hibah Daerah antara Pemda sebagai pemberi hibah dan organisasi keagamaan sebagai penerima hibah, maka pelanggaran tersebut bukan merupakan perbuatan melawan hukum pidana, melainkan perbuatan melawan hukum perjanjian atau perbuatan melawan hukum perdata atau administratif yang berujung pada TGR (Tuntutan Ganti Rugi),” jelas Michael yang juga telah menyelesaikan disertasinya dibidang tindak pidana korupsi.

Advokat yang pernah membebaskan terdakwa tipikor yang menjabat Bendahara Inspektorat Kabupaten Mitra tahun 2019 ini menjelaskan, larangan penggunaan dana hibah untuk peruntukan tertentu tidak dapat menjadi pidana apabila larangan tersebut tidak diatur dalam regulasi negara secara tertulis.

“Itulah sebabnya, jika benar penetapan tersangka terhadap Pdt HA karena telah menggunakan dana hibah untuk pemberian hadiah berupa diakonia uang atau barang atau transaksi lainnya, maka kita lihat dulu rujukan hukumnya. Apakah itu dilarang peraturan perundang-undangan, atau larangan diatur dalam Perjanjian. Jika dilarang peraturan perundang-undangan, maka itu tipikor. Sedangkan, jika dilarang oleh Perjanjian Hibah, maka itu ranah hukum perdata yakni wanprestasi yang berujung pada TGR (Tuntutan Ganti Rugi), bukan pidana, “ jelasnya.

Ia juga menjelaskan kenapa harus dilarang secara eksplisit oleh regulasi negara karena Penjelasan Pasal 2 UU Pemberantasan Tipikor telah dikoreksi oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 003/PUU-IV/2006 dan Putusan MK Nomor 005/PUU-III/2005, yang awalnya definisi perbuatan melawan hukumnya dalam arti (formele wederrechtelijkheid) dan dalam arti materiil (materiele wederrechtelijkheid) dimana perbuatan seseorang dikualifisir melawan hukum tidak hanya karena ada larangan eksplisit atau aturan eksplisit tertulis, akan tetapi juga karena melawan rasa keadilan masyarakat.

Namun saat ini perbuatan melawan hukum dalam Pasal 2 telah diubah menjadi perbuatan melawan hukum dalam arti formal semata, sehingga aturan eksplisit yang dilanggar harus benar-benar ada dan tertulis (lex scripta).

“Itulah sebabnya, ketidak-bolehan atau kebolehan penggunaan dana hibah untuk peruntukan tertentu, harus mengacu pada peraturan perundang-undangan yang eksplisit,” katanya.

Sebagai warga GMIM, dirinya berharap semua pihak dapat berbudaya hukum yang benar, dewasa dan bijak dalam meresponi kasus yang menimpah gereja.

“Kita harus berjuang untuk menegakan kebenaran, akan tetapi berhati-hati jangan pernah merasa diri paling benar. Karena itu sebagai advokat yang bertumbuh dalam pelayanan GMIM, Saya berharap semua pihak berbudaya hukumlah yang benar. Artinya, pihak penyidik harus bertindak tanpa pandang buluh tetapi juga harus profesional dan transparan, sehingga penegakan hukum dapat berjalan secara konstitusional,” katanya.

“Selain itu, kepada saudara-saudaraku warga GMIM mari bertindak proprosional, artinya dudukan semua problem sesuai porsinya. Jika ada pelanggaran secara institusional organisasi oleh Pdt. HA yang menjadi domain internal organisasi GMIM, mari selesaikan ke dalam. Jika ada pelanggaran yang menciderai secara Rohani, biarkan beliau pertanggungjawabkan kepada Sang Kepala Gereja. Jika ada persoalan hukum, mari melewati prosedur hukumnya. Jangan terlalu berlebihan kita menghakimi karena ukuran yang sama akan diukurkan kepada kita juga,” sambungnya.

Ketika ditanyakan terkait isu demo dan langkah strategis apa yang bisa ditempuh pihak Pdt. HA, direktur MRJ Law Office itu mengingatkan untuk pertimbangkan efisiensi dan targetnya.

“Terkait adanya isu demo, menurut saya itu bagian dari demokrasi, namun harus dikalkulasi apakah itu efisien, dan targetnya apa? Milikilah budaya hukum yang benar. Jika sudah masuk pada tahapan penetapan tersangka seperti ini, maka ada beberapa langkah hukum yang bisa ditempuh Pdt. HA, yakni bentuk tim advokasi yang kuat dengan langkah: pertama, ajukan pengaduan Masyarakat (DUMAS) ke Mabes Polri untuk minta digelar perkara khusus terkait alasan hukum dan alat bukti penetapan tersangka, kedua, ajukan praperadilan. Semua ada plus dan minusnya, namun langkah-langkah tersebut menurut Saya sangat rasional dan konstitusional. Akhirnya, “Ecclesia reformata, semper reformanda est secundum verbum Dei” artinya “Gereja yang telah direformasi adalah Gereja yang (harus) terus-menerus diperbarui berdasarkan dengan firman Allah.” Jadi, biar proses ini jadi komtemplasi minggu sengsara untuk terus membaharui GMIM yang sama-sama kita cintai,” katanya.

(redaksi)

Pos terkait