Daya Beli Masyarakat Lesu Jelang Lebaran 2025

Ilustrasi transaski pasar.(ist)

Jakarta, VivaSulut.com – CORE Indonesia mengungkapkan daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah semakin terhimpit jelang Lebaran 2025.

Dalam laporan CORE Indonesia yang berjudul Awas Anomali Konsumsi Jelang Lebaran 2025, seperti dilansir dari Kompas.com, sejumlah indikator ekonomi menunjukkan tingkat konsumsi masyarakat tidak menunjukkan gairah meski telah menjelang Lebaran.

Bacaan Lainnya

Secara langsung, pelemahan konsumsi ini dapat dilihat dari tidak nampaknya tren berbelanja untuk kebutuhan Ramadhan dan Lebaran.

Bahkan CORE Indonesia melihat hingga pekan ketiga Ramadhan, konsumsi rumah tangga masih lesu. Sebaliknya, ada sinyal kuat bahwa kelompok rumah tangga menengah ke bawah mengerem belanja.

“Kelesuan di bulan Ramadhan dan menjelang hari raya ini adalah sebuah anomali yang menggambarkan ketidakberesan di ekonomi domestik Indonesia,” tulis CORE Indonesia dalam laporannya, dikutip Jumat (28/3/2025).

CORE Indonesia membeberkan sederet tanda yang menguatkan dugaan adanya perilaku konsumsi masyarakat jelang Ramadhan dan Lebaran. Berikut tanda-tandanya:

1. Deflasi
Tanda yang menunjukkan adanya anomali konsumsi rumah tangga menjelang lebaran dapat dilihat dari tren deflasi pada awal tahun 2025.

Badan Pusat Statistik (BPS) kembali mencatat Indeks Harga Konsumen (IHK) mengalami deflasi pada Februari 2025, baik secara tahunan sebesar 0,09 persen, bulanan 0,48 persen, maupun year to date 1,24 persen.

BPS kala itu mengungkapkan, faktor terbesar penyumbang deflasi berasal dari kelompok pengeluaran perumahan, air, listrik dan bahan bakar rumah tangga, yang dipicu oleh diskon tarif listrik 50 persen dari pemerintah.

Namun, menjadi janggal ketika deflasi pada Februari kemarin tidak hanya terjadi pada kelompok pengeluaran tersebut.

Deflasi juga terjadi pada kelompok makanan, minuman dan tembakau, dengan andil sebesar 0,12 persen secara bulanan.

Padahal, menjelang Ramadhan pada tahun-tahun sebelumnya, kelompok makanan, minuman dan tembakau selalu menyumbang inflasi, meskipun dorongan kenaikan harga biasanya tertahan oleh musim panen yang sudah dimulai pada Februari di beberapa daerah.

Pada 2024 misalnya, kelompok pengeluaran ini memberikan andil inflasi secara bulanan sebesar 0,29 persen pada Februari dan 0,41 persen pada Maret.

Sedangkan pada 2023, kelompok ini memberikan andil inflasi secara bulanan sebesar 0,13 persen di Februari dan 0,09 persen di Maret.

2. Indeks Penjualan Riil Merosot
Tanda pelemahan daya beli lainnya dapat terlihat dari Indeks Penjualan Riil (IPR) yang mencerminkan tingkat penjualan eceran di beberapa kota besar di Indonesia.

IPR menjadi salah satu indikator penting dari sisi produsen yang dapat menggambarkan pergerakan konsumsi rumah tangga.

Bank Indonesia (BI) mencatat IPR pada Februari 2025 diperkirakan merosot sebesar 0,5 persen secara tahunan, dipengaruhi jatuhnya penjualan Kelompok Makanan, Minuman, dan Tembakau yang turun 1,7 persen.

CORE Indonesia mengungkapkan, sebenarnya pertumbuhan IPR telah melambat sejak 2017.

Sebelum 2017, pertumbuhan IPR selalu double digit, tetapi sejak 2017 pertumbuhan IPR stagnan di bawah 5 persen.

“Perlambatan pertumbuhan IPR sejak 2017 mencerminkan adanya tekanan yang semakin mengeras terhadap konsumsi rumah tangga. Puncaknya adalah anomali pada Ramadhan dan Lebaran 2025,” ungkap CORE Indonesia.

Perlambatan pertumbuhan IPR ini semakin dipertegas dengan melambatnya pertumbuhan penjualan sejumlah ritel dalam beberapa tahun terakhir.

Misalnya, pertumbuhan penjualan Indomaret melambat signifikan dari 44,7 persen pada 2022-2023, menjadi hanya 4 persen pada 2024.

Alfamart dari 13,9 persen pada 2022 terpangkas menjadi 10 persen pada 2024.

Demikian juga dengan Ramayana, dari 8,1 persen pada 2022, menjadi hanya 0,1 persen pada 2024.

Pertumbuhan penjualan Hypermarket juga terpangkas dari sebesar 4,8 persen pada 2022 menjadi hanya 2,3 persen pada 2024.

3. Pertumbuhan Transaksi Belanja Melambat
Perlambatan penjualan di beberapa gerai ritel tersebut sejalan dengan melemahnya pertumbuhan transaksi belanja menggunakan ATM dan debit serta kartu kredit.

BI mencatat, pertumbuhan nilai transaksi belanja menggunakan ATM dan kartu debit pada 2024 terkontraksi sangat dalam 4 persen dibandingkan 2023 yang masih tumbuh 8 persen.

Bahkan angka tersebut lebih rendah dari level saat sebelum pandemi Covid-19 pada 2016-2019 yang mencapai 11 persen.

Tidak hanya itu, pelemahan juga terjadi pada transaksi belanja menggunakan kartu kredit, yang umumnya dilakukan oleh masyarakat menengah atas.

Pada 2024, nilai transaksi belanja menggunakan kartu kredit hanya tumbuh 8 persen, jauh di bawah periode 2023 yang mencatatkan pertumbuhan 26 persen.

Pertumbuhan pada 2024 bahkan lebih rendah dari periode sebelum Covid-19, yakni 9 persen pada 2019.

4. Impor Bahan Konsumsi Terkontraksi
Tanda lainnya terlihat dari data impor bahan konsumsi, data BPS menunjukkan, impor barang konsumsi pada Februari 2025 menyentuh 1,47 miliar dollar AS.

Angka ini turun 10,61 persen dibandingkan impor bulan sebelumnya yang mencapai 1,64 miliar dollar AS.

Kemudian jika dibandingkan dengan periode Februari 2024, impor jelang Ramadhan 2025 jatuh lebih dalam.

5. Jumlah Pemudik Turun

Tidak hanya dari data-data ekonomi di atas, pelemahan daya beli atau tingkat konsumsi masyarakat juga tercermin dari berkurangnya jumlah pemudik saat Lebaran 2025.

Berdasarkan Survei Potensi Pergerakan Masyarakat angkutan Lebaran 2025, Kementerian Perhubungan memprediksi jumlah pemudik mencapai 146,48 juta atau setara dengan 52 persen penduduk Indonesia.

Namun, proyeksi tersebut jauh di bawah jumlah pemudik pada 2024 yang mencapai 193,6 juta, atau turun 24 persen.

Penurunan jumlah pemudik ini mengindikasikan pendapatan yang dapat dibelanjakan masyarakat berkurang, terutama pada kelompok menengah ke bawah sehingga mereka mengurungkan niat untuk mudik.

CORE Indonesia menyebut, data-data di atas menguatkan dugaan adanya kejanggalan perilaku konsumsi rumah tangga jelang Lebaran 2025.

“CORE menilai ini adalah fenomena penurunan daya beli masyarakat,” tulis CORE Indonesia.

(redaksi)

 

Pos terkait