Sangihe, VivaSulut.com–Politik yang jujur selalu dimulai dari nilai-nilai etis, bukan tipu muslihat. Prinsip ini terlihat jelas dalam langkah politik pasangan dr. Rinny Tamuntuan dan Mario Seliang, menuju Pilkada Sangihe yang akan digelar pada 27 November 2024.
Etika politik ini, menurut para pengamat, tampak jelas dalam penggunaan diksi “Tamang” yang menjadi slogan kampanye pasangan tersebut. Kata “Tamang” berasal dari bahasa Melayu Pasar yang berarti “sahabat” dalam Bahasa Indonesia.
Menurut Prof. Dr. Kamajaya Alkatuuk, MS, seorang guru besar sastra dari Universitas Negeri Manado (UNIMA), diksi “sahabat” atau “gawe” dalam bahasa Sangihe diibaratkan sebagai bunga kehidupan. “Jika ada yang bertanya, apa itu bunga kehidupan? Jawabannya adalah persahabatan. Rawatlah persahabatan itu hingga abadi,” ungkapnya.
Tak heran jika pasangan dr. Rinny Tamuntuan dan Mario Seliang yang diusung oleh PDI Perjuangan, memilih diksi “Tamang” sebagai simbol perjuangan mereka. “Bagi saya, ‘Tamang’ adalah filosofi yang menempatkan semua orang dalam kesetaraan. Dalam etika politik, tidak ada ruang bagi paternalisme sempit, perbedaan kelas, atau diskriminasi gender. Kita semua setara dalam persahabatan,” ungkap dr. Rinny Tamuntuan.
Sebagai Calon Bupati nomor urut 3, dr. Rinny menyatakan bahwa dirinya merasa menjadi bagian dari keluarga besar Sangihe yang berjuang bersama demi kemajuan daerah. Menurutnya, politik di Sangihe bukan tempat bagi politisi yang licik, serakah, atau hanya mementingkan kelompok tertentu. “Ini bukan tempat bagi mereka yang gemar mengobral janji kosong atau politisi yang diam dalam sidang rakyat tapi paling depan saat menggasak uang negara,” tegasnya.
Sebaliknya, lanjut dr. Rinny, yang dibutuhkan adalah politisi yang merasa berdosa jika gagal memperjuangkan kepentingan rakyat. Politisi yang berdedikasi untuk mewujudkan visi bersama, menjadikan Sangihe sebagai daerah yang makmur, sejahtera, serta menjaga identitas budaya lokal yang luhur.
“Dalam pencalonan ini, saya memiliki keyakinan ideologis untuk mengembalikan politik ke ruang publik yang sejati, res publica. Politik harus menjadi urusan kedaulatan rakyat, bukan sekadar perebutan kekuasaan,” tegasnya.
Mengapa perubahan diperlukan di Sangihe? Karena di banyak tempat, iklim politik telah diwarnai oleh perebutan kekuasaan yang mengesampingkan pertarungan ideologi. Demi kekuasaan, berbagai cara ditempuh—politik uang, sogokan, kolusi, dan praktik-praktik kotor lainnya. Fenomena ini menenggelamkan makna politik yang sebenarnya, digantikan oleh politik kekuasaan yang semata-mata bertujuan merebut kekuasaan.
“Itulah mengapa kami bertekad untuk memulihkan nilai persahabatan dalam politik. Nilai-nilai ‘pesasimbua wusa’, warisan leluhur Sangihe, mengajarkan kita untuk hidup dalam kebersamaan. Ini adalah esensi dari diksi ‘Tamang’ yang kami usung,” tambah dr. Rinny.
Pantauan di lapangan menunjukkan bahwa diksi “Tamang” dalam visi dan misi pasangan ini telah memicu euforia di kalangan masyarakat Sangihe, yang semakin antusias memberikan dukungan.
“Saya berterima kasih kepada masyarakat Sangihe atas dukungan tulus dan spontan. Semoga Tuhan memberkati perjuangan kita dan daerah tercinta ini,” pungkas dr. Rinny Tamuntuan.
Penulis: Iverdixon Tinungki/Tim Media Center